Rekiblik Bagong
Akrilic on Canvas, 2013. Juga sebagai tema Pameran. Dan pada buku katalog pamerannya, Purwadmadi Admadipurwa menulis sebagai berikut:
ORANG-ORANG di pinggiran, mungkin, orang-orang tak
berteriak. Tetapi, bukan berarti orang diam. Jagat kecil manusia Jawa, selalu menempatkan
diri pada ruang-ruang besar kosmologis tak terhingga. Mereka paham akan
keluasan alam pelingkup diri, tetapi merasa tak perlu harus tahu batas ketakterhinggaan
itu. Sesuatu yang terukur tetapi tak bisa diukur. Maka, mereka selalu berbuat
sebagai wiradat dari kodratnya. Mereka membangun suatu frame perubahan dalam
ketakterhinggaan itu, sekaligus berbuat untuk dan atas nama perubahan. Setiap
kali terdapat pengukuran, hanya serba relatif yang didapat. Figurisasi “Bagong”, bagian dari ukuran tafsir
orang kebanyakan, atas dinamika gejolak perubahan.
Perubahan apa? Perubahan keadaan. Keadaan apa? Keadaan
geopolitik, budaya, dan sosial ekonomi masyarakat. Suatu keadaan gerah, sumpek,
sekaligus carut marut. Cara sederhana yang mereka lakukan, membaca keadaan (maca kahanan – Jw), segala yang tersirat.
Salah satu yang terbaca oleh mereka, bergulirnya suatu suasana “Rekiblik Bagong”, negeri yang
diliputi jarak jauh berjurang antara kawula dan bendara (rakyat dan pemimpinnya). Suasana rindu figur sederhana,
merakyat, jujur dan terbuka. Mereka menemukan suatu pengharapan, dalam diri berkarakter
panakawan (baca: wong cilik) “Bagong”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar